MUARA WAHAU – Kekayaan adat-istiadat dan budaya nusantara memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Beragam suku bangsa dengan keunikan dan ciri khas masing-masing memberikan warna tersendiri bagi keberagaman adat dan budaya nusantara, sehingga menjelma menjadi identitas nusantara yang tak ternilai harganya dan menjadi kebanggaan.
Salah satu suku yang terkenal dengan pesta adat dan budayanya adalah suku dayak Wehea. Suku Dayak Wehea merupakan suku yang pertama kali mendiami sungai Wehea, kini dikenal dengan sebutan sungai Wahau.
Oleh karena itu, tempat bermukim yang diberi nama Desa Nehas Liah Bing merupakan desa tertua di antara desa-desa Wehea lainnya, termasuk desa lain yang ada di wilayah Kecamatan Muara Wahau, Kongbeng, dan Telen.
Menjalankan kehidupan sehari-hari, suku Dayak Wehea lekat dengan adat-istiadat dan kebudayaan yang mengandung kesakralan. Adat-istiadat dan kebudaya menjadi entitas suku Dayak Wehea, di mana hingga hari ini masih tetap dipertahankan dan dilestarikan adat dan budaya warisan leluhur itu.
Salah satunya adalah Lom Plai. Lom Plai merupakan ritual yang dilakukan setelah panen padi usai dan hanya sekali dalam setahun. Lom Plai mempunyai rangkain acara cukup panjang, puncak dari Lom Plai disebut Embob Jengea atau pesta panen. Dalam pelaksanaan Lom Plai melibatkan semua partisipasi dari warga setempat, mulai dari anak remaja hingga lansia, bahkan anak-anak pun turut dilibatkan.
Pembukaan Lom Plai ditandai dengan Ngesea Egung atau pemukulan gong oleh keturunan raja. Gong dipukul dini hari atau setelah semua makhluk hidup terbangun dari tidur, dan dilakukan di rumah adat atau lamin. Suara gong mengisyaratkan bahwa kerjasama atau gotong royong menghias kampung dan pelaksanaan ritual sakral bisa dimulai.
Menurut kepercayaan suku Dayak Wehea, padi adalah jelmaan dari manusia, oleh karena itu penghormatan setinggi-tingginya perlu dilakukan pada padi.
Begini hikayat itu, ada sebuah peristiwa zaman dahulu, di mana pada saat itu suku Dayak Wehea dilanda bencana kekeringan berkepanjangan dan kelaparan. Semua tanaman dan tumbuhan mati terkulai menyebabkan gagal panen. Kekeringan atau kemarau benarbenar menguras energi suku Dayak Wehea pada saat itu.
Bak berada di padang gurunsahara, semua tanaman yang ditanam dan juga tumbuhan yang berada di hutan-hutan,tempat suku Dayak Wehea menggantungkan hidup mereka mati kekeringan.
Suku Dayak Wehea segera masuk pada fase kedua yakni, kelaparan. Banyak warga menderita hingga jatuh sakit, dan beberapa berujung pada meninggal dunia akibat tak memiliki pangan untuk dimakan. Sumber dihutan pun sirna oleh kemarau itu.
Hepui Ledoh (ratu perempuan) bernama Diang Yung yang juga hidup bersama warga turut merasakan bencana yang menimpa warganya. Sang Hepuy berusaha cari tahu dan berpikir keras bagaimana cara menyelamatkan warganya, hingga pada suatu malam dia bermimpi didatangi Dohton Tenyiei (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Di dalam mimpinya, Dohton Tenyiey meminta kepada Diang Yung untuk mengorbankan putri tunggalnya, Putri Long Diang Yung demi menyelamatkan warganya dari bencana kekeringan dan kelaparan. Jika tidak dilakukan, maka warga akan meninggal terus menerus hingga habis.
Setelah terjaga dari tidurnya, hati sang hepuy Diang Yung berkecamukmemikirkan wangsit yang disampaikan oleh Dohton Tenyiey. Pilihan hanya ada dua, membiarkan sang putri tunggal nan cantik jelita tetap hidup sebagai penerus tahta dan keturunan, tetapi mendapati warga berangsur-angsur meniggal dunia akibat bencana kekeringan dan kelaparan yang tidak dapat dibendung atau menyelamatkan warga dengan mengorbankan Putri Long Diang Yung anak tunggal penerus tahta dan keturunan.
Akhirnya diadakan musyawarah dengan tetua adat dan pemuka masyarakat, maka diambillah suatu mufakat bahwa masyarakat banyak harus diselamatkan dan Putri Long Diang Yung yang dikorbankan.
Untuk prosesi itu, masyarakat mulai berkumpul di pusat kampung dengan mengucapkan sumpah yang berbunyi sebagai berikut:
Pertama, orang harus menyayangi padi seperti saya menyayangi anak saya dan jangan bertindak kasar/durhaka terhadapnya.
Kedua, padi yang adalah anak saya harus di Erau-kan (Lom/pesta) seperti saya melakukan terhadapnya.
Tiga, bagi orang yang memiliki padi dan menikmatinya serta taat kepada sumpah, akan selamat, panjang umur, sejahtera dan makmur.
Empat, bagi yang melanggar sumpah akan celaka, ketulahan, dan akan menderita karena sakit dan tidak panjang umur.
Selesai mengucapkan sumpah, Hepuy Diang Yung mengorbankan sang Putri Long Diang Yung. Pada saat itu juga hari menjadi gelap seketika, hujan pun turun sangat deras.
Di tempat Putri Long Diang Yung dikorbankan, terjadi suatu keajaiban. Di mana sang putri yang telah dikorbankan berubah menjadi serumpun padi yang tumbuh meninggi serta mengeluarkan bulir-bulir yang sudah menguning.
Padi itu kemudian dinamakan Plai Long Diang Yung. Padi kemudian dituai dan dibagikan kepada warga sebagai benih atau bibit untuk ditaman. Warga yang sudah mendapatkan bagiannya segera pergi untuk menanam.
Hasil dari benih yang ditanam itulah yang dituai, kemudian dikonsumsi hingga akhirnya mereka terlepas dari bencana kekeringan dan kelaparan, hidup makmur dan sejahtera.
Itulah alasan mendasar orang-orang Wehea hingga saat ini masih konsisten melaksanakan ritual Lom Plai. Bok Kenyok Teq menjelaskan bahwa “jika tidak ada padi maka hidup akan menderita, padi lah yang membuat kita tetap hidup dan bernafas, apabila tidak lagi makan sebutir nasi pun maka akan meninggal dunia akibat kelaparan, oleh sebab itu Lom Plai diadakan sebagai bentuk penghormatan pada padi.” (ADV/*)