SANGATTA – Terkait statment Wakil Wali Kota Bontang, Agus Haris, yang menyebut  Bupati Kutai Timur (Kutim) harus belajar soal aturan terkait rencana pemekaran Kampung Sidrap, Wakil Bupati (Wabup) Kutim Mahyunadi, menyampaikan keprihatinannya terhadap pernyataan tersebut. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak etis dan dapat mengganggu hubungan antarpemerintah daerah serta memicu keresahan di tengah masyarakat.

“Kami sangat prihatin dan tidak nyaman atas pernyataan itu. Menurut saya, kata-kata seperti itu tidak elok diucapkan oleh pejabat daerah karena bisa menimbulkan ketegangan antar kepala daerah dan berpotensi menjadi konflik sosial,” ujar Mahyunadi, Rabu (21/5/2025).

Mantan Ketua DPRD Kutai Timur itu menilai, sebagai pejabat publik, seseorang seharusnya menunjukkan sikap bijak dalam berkomunikasi di ruang publik, apalagi yang bersangkutan baru menjabat sebagai Wakil Wali Kota.

“Pak Ardiansyah Sulaiman sudah satu periode menjadi Wakil Bupati dan sekarang menjabat sebagai Bupati Kutai Timur untuk periode kedua. Beliau sosok panutan. Sementara yang menyampaikan pernyataan tersebut baru seumur jagung menjabat,” ujarnya.

Terkait substansi persoalan, Mahyunadi menegaskan rencana pemekaran Kampung Sidrap menjadi desa definitif telah lama diusulkan, bahkan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuannya murni untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di wilayah tersebut.

“Pemekaran jadi Desa Defenitif itu bukan hal baru. Putusan sela MK juga tidak menyebut adanya status quo atas wilayah, hanya meminta Gubernur Kaltim melakukan mediasi antara Kutim dan Bontang dalam waktu tiga bulan,” tegasnya.

Ia menambahkan, berdasarkan Permendagri Nomor 25 Tahun 2005, batas wilayah Kampung Sidrap masih berada dalam administrasi Kutai Timur. Tidak ada satu pun regulasi yang membatalkan ketentuan tersebut, termasuk dalam putusan sela MK yang tidak memerintahkan penghentian aktivitas pembangunan.

Mahyunadi juga menyoroti dugaan pelanggaran yang dilakukan Pemerintah Kota Bontang dengan melakukan pendataan penduduk dan pemberian identitas kependudukan kepada warga yang berada di luar wilayah administrasinya.

“Fakta sidang MK tidak menunjukkan urgensi pemekaran wilayah Bontang ke Sidrap. Bahkan, rapat bersama Provinsi Kaltim pada 26 Juni 2019 sudah menegaskan bahwa Kota Bontang tidak pernah membangun apa pun di wilayah Sidrap. Jadi, narasi yang dibangun soal pengelolaan Bontang itu fiksi,” paparnya.

Meski begitu, Mahyunadi mengajak seluruh pihak untuk menahan diri dan menjaga hubungan baik antarpemerintah daerah demi kepentingan masyarakat.

“Kita ini berada di bawah naungan Republik Indonesia, bukan Republik Bontang atau Republik Kutim. Jadi mari kita fokus pada pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, bukan memperkeruh suasana dengan pernyataan yang tidak berdasar,” pungkasnya. (*/foto ist)

Loading