JAKARTA – Memiliki anak-anak yang cerdas merupakan impian banyak orang tua. Oleh karena itu, betapa pentingnya kita untuk memahami bahwa rokok itu sangat memberikan dampak yang buruk kepada anak bahkan sejak masih dalam kandungan. Stunting adalah salah satu bahaya nyata yang dapat kita lihat.
”Kita perlu menciptakan lingkungan yang ramah anak mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Peran penting setiap unsur yang ada sangat dibutuhkan guna melindungi anak-anak kita yang merupakan generasi penerus bangsa,” ucap Prof Dr. Seto Mulyadi, M.Si., Psikolog, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia saat memberikan pengantar saat konferensi pers secara daring Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) bersama dengan jaringan organisasi pengendalian rokok di Indonesia di Jakarta Jumat (14/04/2023).
Selain itu, dalam paparanya, dirinya meminta khususnya kepada pemerintah agar dapat membuat suatu regulasi yang mengatur dengan tegas akan bahaya rokok dan dampak negatif yang ditimbulkan dari segala bentuk iklan, promosi dan sponsor rokok bagi kemajuan bangsa.
“Kami selalu digadang-gadangkan menjadi generasi unggulan. Dielu-elukan sebagai pewaris peradaban zaman. Untuk menjadi generasi yang diharapkan, kami butuh kesehatan juga kesempatan. Bukan dininabobokan candu industri racun berbahaya. Diendapkan, mati tanpa suara,” tegas Alya Eka Khairunnisa, Perwakilan Duta Anak Nasional KAI 2022.
Dalam kesempatan itu, dirinya juga mempertanyakan bukti kehadiran negara dalam regulasi yang komprehensif, selain itu, pihaknya juga meminta dukungan masyarakat dan keluarga untuk berperan protektif, bukan menjadi budak zat adiktif.
“Berikan kami nutrisi yang memadai, bukan adiksi pengantar mati. Kami ada disini, menjadi pemimpin muda masa kini dan penerus bangsa hingga nanti. Berikanlah kami kesempatan untuk membuktikan diri,” tegas Alya.
Dr. Abdillah Ahsan, Kepala Lembaga Demografi FEB UI dalam pernyataannya mengatakan, “Pembangunan sumber daya manusia menyongsong Indonesia emas 2045, harus ditopang oleh masyarakat yang sehat. Masyarakat sehat akan mampu bekerja dengan lebih baik dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.” Lebih lanjut ia menegaskan bahwa, cara utama untuk meningkatkan kualitas kesehatan adalah dengan berhenti merokok. Prevalensi merokok di Indonesia masih sangat tinggi dibandingkan negara lain. Omnibus law kesehatan harus progresif dalam upaya menurunkan konsumsi rokok!
“Konsumsi rokok meningkat karena iklan sponsor dan promosi rokok yang masif, peringatan kesehatan bergambar yang minim dan aturan kawasan tanpa rokok yang dilanggar. Ini akan menghancurkan impian Indonesia emas 2045. Kami mengharapkan semua pihak untuk bersama-sama melindungi masa depan dari terkaman industri rokok,” tegasnya.
Pentingnya larangan total iklan, promosi, sponsor rokok di semua media masuk dalam RUU Kesehatan Omnibus Law ditegaskan pula oleh Ketua TCSC IAKMI, dr. Sumarjati Arjoso, SKM. Ia mengatakan bahwa, prevalensi perokok anak usia 10 – 18 tahun naik dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018). Angka ini tidak sesuai dengan target RPJMN yang ditetapkan sendiri oleh Pemerintah, yang ingin menurunkan angka prevalensi perokok anak sebesar 5,4% (2015-2019). Berbagai studi menunjukan adanya hubungan paparan iklan, sponsor dan promosi rokok pada konsumsi rokok anak dan remaja. Makanya Iklan, promosi, sponsor rokok harus dilarang total dalam RUU Kesehatan yang sedang dibahas ini, jika pernah tidak ingin gagal lagi dalam pencapaian target penurunan perokok anak sebesar 8,7% pada RPJMN 2020 – 2024.”.
Dari sisi perlindungan hak asasi, Ifdhal Kasim, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau dan Direktur Eksekutif RMI, mengatakan, “Jumlah perokok khususnya perokok anak di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan ini sangat mengkhawatirkan kita semua. Untuk itu, pembahasan RUU Kesehatan (Omnibus Law Kesehatan) saat ini harus secara eksplisit dan tegas mengatur perlindungan hak kesehatan anak dari paparan asap rokok dan produk tembakau lainnya.” Larangan iklan rokok di semua media termasuk internet, penegakan kawasan dilarang merokok, larangan penjualan dan konsumsi rokok elektronik harus secara eksplisit disebutkan dalam RUU Kesehatan ini untuk menunjukkan kehadiran negara dalam melindungi hak kesehatan anak Indonesia.
Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta Dr. Mukhaer Pakkanna, SE., MM, , dalam pernyataan mengatakan, “RUU Kesehatan dlm format omnibus law ini belum mampu memeta persoalan-persoalan sensitif yang hidup di masyarakat, terutama terhadap kelompok rentan. Unsur diskriminasi dan ketidakadilan masih saja mewarnai banyak klausul. Apalagi RUU ini cukup tebal dan lebih 400 pasal. Jika tidak hati-hati memelototi setiap pasal, khawatir tidak sinkron, dan ada celah untuk dimanipulasi oleh kelompok tertentu. Karena itu, partisipasi publik harus terus dibuka lebar. Ini menyangkut masa depan anak cucu kita.”.
Pernyataan pamungkas disampaikan oleh Tubagus Haryo Karbyanto, SH., mewakili Komnas Pengendalian Tembakau, “Jika Indonesia ingin mewujudkan generasi emas pada Indonesia emas 2045, maka negara ini harus hadir sekarang dan kini untuk membebaskan anak-anak kita dari target industri Rokok yaitu dengan melakukan pelarangan secara komprehensif iklan, promosi dan sponsor ZAT ADIKTIF ROKOK dan memasukkannya dalam RUU Kesehatan yang sekarang sedang dibahas. Jika tidak maka pd 2045 kita akan memanen generasi cemas yang sakit-sakitan sehingga akan menampilkan INDONESIA CEMAS!”
Sebelumnya Ahmad Fanani selaku moderator, mengungkapkan, konprensi pers bertajuk Sinergi Bersama Wujudkan Perlindungan Anak dari Bahaya Rokok dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law ini bertujuan untuk menyikapi dan memberi masukan RUU Kesehatan Omnibus Law, yang saat ini sedang dalam proses pembahasan di DPR dan disinyalir bertujuan mengakomodir upaya transformasi kesehatan. RUU ini terdiri atas 20 bab dan 478 pasal, jika disahkan akan menggantikan UU Kesehatan Nomor 39 tahun 2009. Bab V memuat substansi upaya kesehatan terkait bidang pencegahan dan pengendalian penyakit, dan pada bagian kedua puluh lima khusus mengenai pengamanan zat adiktif. (G-S08)